Praktek Subsidi Ekspor Beras di Negara Lain: Mungkinkah Diterapkan di Indonesia?

Authors

  • M. Husein Sawit Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

DOI:

https://doi.org/10.21082/akp.v7n3.2009.231-247

Keywords:

beras, competitiveness, daya saing, export subsidy, production surplus, rice, subsidi ekspor, surplus produksi

Abstract

Indonesia di perkirakan akan mampu berproduksi beras melebihi tingkat konsumsi DN (dalam negeri). Kelebihan produksi tersebut berdampak positif terhadap penguatan ketahanan pangan melalui rendahnya risiko impor beras yang harganya di pasar dunia tidak stabil. Di pihak lain, kelebihan produksi dapat menekan harga beras DN,  mengurangi insentif petani produsen, sehingga akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan kenaikan produksi gabah/beras nasional. Ekspor beras adalah salah satu solusinya. Namun, daya saing beras tidak selalu ditentukan oleh surplus produksi, umumnya ditentukan oleh disparitas harga beras DN vs LN (luar negeri). Manakala HPP (harga pembelian pemerintah) gabah/beras (kualitas medium) selalu dinaikkan misalnya, maka surplus produksi beras medium tidak cukup kompetitif untuk diekspor. Harga FOB Jakarta untuk beras IR III dan kualitas medium HPP jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga ekspor FOB dengan kualitas yang sepadan yaitu Viet25 persen, Pak25 persen atau Thai25 persen, khususnya setelah April 2009. Demikian juga harga beras super/premium Setra jauh lebih tinggi dari harga beras Viet5 persen dan Thai White 100 persen B, khususnya setelah Juli 2008. Namun, Indonesia mampu bersaing pada beras kualitas aromatik, seperti Cianjur Kepala setelah Nopember 2008. Pada Juni 2009 misalnya, harga Thai Fragrant USD 917/ton, bandingkan dengan harga beras Cianjur Kepala hanya USD 845/ton (FOB). Kalau Bulog/pemerintah kelebihan stok yang umumnya kualitas medium diekspor untuk mencegah penurunan harga gabah, serta eskses stok, maka pemerintah perlu mempertimbangkan subsidi ekspor sekitar USD 200/ton. Kalau ekspor beras mencapai 100 ribu ton misalnya, maka total subsidi ekspor menjadi sekitar USD 20 juta atau sekitar Rp 200 milyar. Mungkin subsidi ekspor beras diperkirakan sulit diterima DPR atau masyarakat luas. Kalau ingin memurahkan beras, mengapa harus diekspor, bukankah lebih baik disubsidi penduduk dalam negeri? Tampaknya, ekspor beras bukan sekedar perhitungan ekonomi.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Dong K. Son dan Trans C. Thang. 2008. “Role of State-Owned Enterprises in Vietnam’s Rice Market”, in Rashid, Gulati and Cummings Jr (Eds), From Parastatal to Private Trade: Lessons from Asian Agriculture, The Johns Hopkins Univ. Press: Baltimore.

FAO. 2006. “Import Surges: What are their external causes?”, FAO Briefs on Import Surges: Issues no.3.

Priyono, H. 2009a. “Pasar Beras: Kualitas, Harga dan Preferensi Konsumen”, Warta Intra Bulog, Edisi 01/35/2009.

Priyono, H. 2009b. “Ekspor Beras: Sebuah Anti Klimaks?”, Warta Intra Bulog, Edisi 05/36/2009.

Sawit, M.H. 2005. Perum Bulog dalam Perjanjian Pertanian WTO: Apa, Mengapa dan Bagaimana, Puslitbang Bulog: Jakarta.

Sawit, M.H. 2007. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO, Badan Penerbit FE UI: Jakarta

Downloads

Published

30-08-2016

Issue

Section

Analisis Kebijakan Pertanian

How to Cite

1.
Sawit MH. Praktek Subsidi Ekspor Beras di Negara Lain: Mungkinkah Diterapkan di Indonesia?. Analisis Kebijak. Pertan. [Internet]. 2016 Aug. 30 [cited 2025 May 19];7(3):231-47. Available from: https://epublikasi.pertanian.go.id/berkala/index.php/akp/article/view/733