Potensi dan Model Agroforestry untuk Rehabilitasi Lahan Terdegradasi di Kabupaten Berau, Paser dan Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur
Abstract
Abstrak: Luas lahan terdegradasi di Indonesia cenderung terus bertambah dan semakin memicu meningkatnya lahan-lahan terlantar yang tidak produktif. Sistem agroforestri diyakini dapat menjadikan lahan terlantar dan terdegradasi menjadi produktif dan dapat memulihkan sebagian dari kualitas lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prospek rehabilitasi lahan terdegradasi dengan beberapa model agroforestri di Kabupaten Kutai Timur, Paser, dan Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2016 sampai Agustus 2017. Kegiatan penelitian dilakukan melalui desk work dan survei observasi lapangan dan wawancara dengan petani. Pemilihan komoditas dilakukan berdasarkan komoditas unggulan kabupaten, kesesuaian lahan, dan preferensi petani dan diikuti dengan analisis finansial untuk membandingkan pola monokultur dengan pola agroforestri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas lahan terdegradasi selama periode 2000-2015 di ketiga kabupaten dari 1,54 juta ha menjadi sekitar 1,75 juta ha. Luas lahan terdegradasi yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah sekitar 0,821 juta ha (47%) dari luas lahan terdegradasi di ketiga kabupaten, sisanya merupakan kawasan hutan, areal ijin konsesi, dan lahan yang tidak sesuai. Tren utama perubahan penggunaan lahan adalah untuk kelapa sawit dan lada monokultur. Keuntungan bersih terkini (NPV) untuk kedua sistem ini berturut-turut adalah sekitar Rp. 51 juta dan 87 juta ha-1 tahun-1. Model agroforestri berbasis gaharu-lada, berpotensi memberikan NPV sampai 6,9 kali lebih tinggi dibandingkan sawit monokultur serta memberikan Internal Rate of Return (IRR) sampai 49,3% dan benefit cost (B/C) ratio 8,54. Terlepas dari tingginya potensi keuntungan sistem agroforestri tersebut dibandingkan dengan sistem monokultur, sistem monokultur kelapa sawit tetap lebih menarik, kemungkinan karena kepastian pasar dan kepraktisan pengelolaan. Berbagai sistem, baik berupa monokultur ataupun sistem agroforestri, bila diterapkan pada lahan berlereng curam, perlu dilengkapi dengan penerapan konservasi tanah seperti peningkatan proporsi tanaman tahunan, sistem tanam searah kontur, dan penanaman cover crop di antara tegakan pohon.
Abstract. The total area of degraded land in Indonesia is increasing and triggerring the increase of unproductive land. Agroforestri system is believed to be able to convert the idle degraded lands into productive ones and it can restore some of its environmental quality. This study aims to examine the prospects for rehabilitation of degraded lands with agroforestri systems in East Kutai, Paser and Berau districts, East Kalimantan Province. The study was conducted from March 2016 to August 2017. The research activities were conducted through desk work and field surveys and interviews with farmers. The selection of commodities is based on the district's pre-eminent commodities, land suitability, and farmer preferences and followed by financial analysis to compare monoculture with agroforestri systems. The results show that there was an increase in the area of degraded land during the period 2000-2015 in the three districts from 1.54 million ha to about 1.75 million ha. The potential area of degraded land available for future use is about 0.821 million ha; the remainder being forest areas, concession areas and unsuitable land. The main trends of land use change are for monoculture oil palm and pepper. The net present value (NPV) for those systems were around Rp. 51 million and 87 million ha-1 year-1, respectively. Agar wood-pepper based agroforestri, promised NPV of up to 6.9 times higher than oil palm monoculture, Internal Rate of Return (IRR) of up to to 49.3% and benefit cost (B/C) ratio of 8.54. Apart from the relatively high potential profit of the agroforestri compared to monoculture system, monoculture oil palm systems remains more attractive, possibly due to market certainty and practicality of management. Various systems, whether monocultures or agroforestri, when practiced on steep slopes, need to be supplemented by implementation of soil conservation.